Bangsa ini Memang Haus Superhero

Irfan Adhityo
5 min readFeb 8, 2020

--

Sore itu setelah menyelesaikan segala kesibukan di kampus, saya menyempatkan diri untuk nongkrong di salah satu warung kopi di dekat kos-kosan saya. Sembari menunggu pesanan, saya menghabiskan waktu untuk browsing serta membuka media sosial.
Saat sedang asyik-asyiknya bersenda gurau di grup Line, tiba-tiba sebuah pesan singkat melalui Whatsapp masuk ke handphone saya. Sontak saya pun langsung membukanya. Ternyata pesan singkat tersebut berasal dari teman saya. Ah, ajakan aksi ternyata. Setelah membaca pesan singkat tersebut, saya pun baru teringat bahwa 1 tahun sudah salah satu penyidik terbaik di negeri ini, Novel Baswedan, mengalami tragedi penyiraman air keras yang menyebabkan ia harus kehilangan penglihatan sebelah matanya.

Pada 11 April 2017, penyidik Komisi Pemberatasn Korupsi (KPK) Novel Baswedan diteror dua orang pengendara motor tak dikenal. Pria yang merupakan cucu dari salah satu anggota BPUPKI, Abdurrahman Baswedan ini disiram air keras seusai salat subuh di masjid Al Ihsan, Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Novel yang merupakan mantan anggota Kepolisian Resor (Polres) Bengkulu, kala itu didiagnosa terancam menderita kebutaan.

Novel Baswedan dikenal sebagai pribadi yang jujur dan berani dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai seorang penyidik KPK, ia berhasil mengungkap kasus-kasus besar seperti kasus korupsi simulator SIM yang menjadikan Kepala Koordinator Lalu Lintas (Korlantas) Polri saat itu Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka.1 Kasus yang diklaim merugikan negara sebesar Rp121 milliar tersebut disinyalir menjadi penyebab panasnya hubungan antara 2 institusi penegak hukum di negeri ini, yaitu KPK dan Polri, tak lama setelah kasus tersebut terungkap.

Selain kasus tersebut, masih ada segenap kasus megakorupsi lain yang ia tangani. Sebutlah kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games Palembang dan pengadaan alat kesehatan yang menjerat nama mantan bendahara umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin.2 Kemudian ia juga berhasil mengungkap kasus korupsi yang menjerat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, yang merugikan negara sebesar Rp 46 miliar serta pencucian uang sebesar Rp 181 miliar.

Dikarenakan reputasi tersebut, Novel Baswedan kemudian dipercaya oleh KPK untuk menangani kasus megakorupsi e-ktp yang disebut telah merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun serta melibatkan para petinggi partai di negeri ini termasuk mantan Ketua DPR Setya Novanto. Sayangya, ternyata keberadaan Novel dianggap sebagai ancaman bagi para mafia korupsi di negeri ini. Ia menjadi target teror yang menyebabkan ia harus kehilangan penglihatan pada sebelah matanya.

Ya, menjadi orang jujur di negeri ini memang tak pernah mudah. Berbagai ancaman serta rintangan politik maupun fisik dari mereka yang tak peduli akan nasib bangsa harus dihadapi. Sebut saja kasus yang menimpa mantan Ketua KPK Antasari Azhar. Ia divonis oleh hakim 18 tahun penjara pada tahun 2009 atas dakwaan pembunuhan terhadap bos PT Putra Rajawali Bantaran, Nasrudin Zulkarnain. Mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, hingga upaya peninjauan kembali, Antasari dinyatakan bersalah.

Hingga kini, kejanggalan atas kasus yang ditengarai akibat kisah cinta segitiga Antasari dan Nasrudin dengan seorang caddy bernama Rani Juliani tetap menjadi pertanyaan. Mulai dari bukti kemeja korban yang hilang, tidak sesuai nya ukuran peluru yang ditemukan di TKP dengan yang dibawa ke pengadilan, hingga pengakuan saksi ahli forensik RS Cipto Mangunkusumo Jakarta Mun’im Idris yang mengaku ada pihak yang mendatangi dan memintanya mengubah keterangan soal peluru yang ditemukan.3
Kini Antasari telah menghirup udara segar berkat bebas bersyarat 2016 lalu, namun ia tak pernah mengakui bahwa ia membunuh Nasrudin. Sebuah hal yang diamini oleh adik kandung Nasrudin, Andi Syamsuddin. Antasari bahkan mengaku bahwa sebelum kasusnya, ia didatangi oleh Hary Tanoe sebagai utusan keluarga Cikeas untuk meminta KPK tak menahan Aulia Pohan, besan presiden Indonesia kala itu, Susilo Bambang Yudhoyono.4 Mirip dengan Novel Baswedan, kala itu Antasari juga berurusan dengan nama besasr dalam hal pengungkapan kasus korupsi.

Kini setahun berselang, kasus Novel Baswedan seakan tak menemui titik terang. Bahkan ia menilai Presiden Joko Widodo yang awalnya melihat kasusnya sebagai hal yang serius belum menepati janjinya. Novel dan publik kini menanti janji Jokowi, salah satunya adalah dengan mendesak segera dibentuknya Tim Gabungan Pencari Fakta.

Kisah Antasari Azhar serta Novel Baswedan hanyalah sebagian gambaran kecil betapa besar tantangan untuk tetap menjadi orang jujur, dalam hal ini, memerangi korupsi. Saya yakin masih banyak cerita “Novel-Novel lain” yang tak terungkap di negeri ini. Pejuang-pejuang lain yang kisahnya melawan korupsi tak pernah terkekspos oleh media namun santer dibicarakan orang sekampungnya.

Dibalik semangat mereka, saya menilai ada pesan khusus yang ingin disampaikan kepada kita sebagai rakyat Indonesia. Antasari dan Novel sadar betul bahwa pemberantasan korupsi bukan sebatas menangkap pelaku korupsi. Antasari dan Novel sadar betul bahwa pemberantasan korupsi tak dapat dilakukan sendirian oleh KPK. Puncaknya, mereka sadar betul bahwa pemberantasan korupsi tak pernah sebatas pemerintah semata. Ini soal merubah budaya, budaya kita sebagai masyarakat Indonesia.

Sepintas, saya teringat kisah sukses Hong Kong memberantas korupsi. Hong Kong terkenal menjadi salah satu negara terkorup pada medio 1960 hingga 1970an.5 Penyuapan merupakan hal yang dibutuhkan dan menjadi hal yang biasa untuk menyelasikan masalah. Pendirian Independent Commision Against Corruption (ICAC) pada tahun 1974 memiliki kontribusi signifikan dalam reformasi Hong Kong untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih. Dalam bekerja memberantas korupsi, ICAC mengenal prinsip “serangan tiga arah” melalui 3 departemen.

Departemen Operasi bertugas untuk menerima laporan dan menginvestigasi. Kemudian, Departemen Hubungan Masyarakat bertugas untuk mengedukasi, publikasi, dan sebagai departemen yang melambangkan moral ICAC. Departemen tersebut bertugas untuk membangun peran serta dan dukungan masyarakat untuk memerangi korupsi.
Terakhir, Departemen Pencegahan Korupsi bertugas untuk mencegah upaya korupsi dengan menguji operasi internal dari tiap lembaga dan membuat sistem anti-korupsi. Praktek tersebut telah sukses diterapkan ke dalam berbagai lembaga dan organisasi dengan cara menjunjung tinggi sistem transparansi yang efektif.6 Ketiga departemen ini bekerja secara bersinergi sehingga menghasilkan keberhasilan ICAC dalam memerangi korupsi.

Dalam jangka waktu 22 tahun, ICAC dapat menurunkan angka tersangka kasus korupsi per tahun dari sekitar 800 menjadi hanya kurang dari 200 orang pada 2016.7 Semua kerja keras

ICAC membuahkan hasil bahwa berkaca dari survey mereka di tahun 2016, 99.2% masyarakat Hong Kong percaya bahwa menjaga Hong Kong agar bebas korupsi merupakan hal yang vital dalam pembangunan Hong Kong.

Hasilnya, hari ini Hong Kong adalah negara terbersih ke-13 di seluruh dunia dengan Corruption Perception Index (CPI) di angka 77. Sebagai perbandingan, Indonesia “hanya” berada di posisi ke-96 dari 180 negara di seluuruh dunia dengan CPI di angka 37.9

Ya, perjuangan melawan korupsi bukan hanya perjuangan KPK serta penegak hukum semata namun juga perjuangan kita semua. Sedikit lucu rasanya bila kita hanya bisa menyalahkan pejabat yang tersangkut korupsi tanpa mengingat bahwa pada dasarnya pejabat itu lahir dari masyarakat juga, tak berbeda dengan kita. Antasari dan Novel sadar betul akan hal itu. Mereka sadar betul bahwa dalam merubah budaya, masyarakat perlu contoh, dan mereka tampil ke permukaan dengan segala risikonya. Mereka adalah martir melawan korupsi.

Merubah budaya bukanlah hal mudah, diperlukan komitmen serta waktu bertahun-tahun. Dalam kasus ICAC mereka membutuhkan waktu 22 tahun untuk dapat mencapai hasil seperti yang dicapai hari ini. Akan tetapi, perubahan tersebut tak akan pernah berhasil bila kita sendiri sebagai individu yang membentuk komunitas tidak pernah mau untuk berpartisipasi serta berubah menuju budaya yang jujur dan anti korupsi.
Tak terasa sudah hampir satu jam saya nongkrong di tempat ini, sampai-sampai tak sadar suasana sudah cukup ramai dengan mahasiswa-mahasiswa yang sepertinya tak satu fakultas dengan saya. Saya pun bergegas membayar pesanan serta kemudian beranjak berdiri. Sembari menghabiskan minuman, saya mendengar percakapan mahasiswa-mahasiswa tersebut.

“Bro, kok UTS lu bisa bagus? Katanya gak belajar kemaren?”
‘Santai aja cuy, kan pengawasnya gampang, nyontek juga bisa. Nih orang-orang pada nyontek juga selow’

--

--