Dilema Nyawa dan Poin Tiga

Irfan Adhityo
6 min readJan 11, 2021

--

Photo by Alexandre Brondino on Unsplash

“… and Solksjaer has won it!”

Masih lekat dalam memori bagaimana Camp Nou bergemuruh dengan chants para pendukung Setan Merah. Pada 26 Mei 1999, 2 gol di penghujung pertandingan oleh Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solksjaer membawa Manchester United mengangkat “Si Kuping Besar”, setelah terakhir kali merengkuhnya pada 33 tahun lalu. Kala itu, lautan flare dan atribut berwarna merah mewarnai seluruh pojok stadion paling tersohor di Catalan, menandai malam yang indah bagi skuad asuhan Sir Alex Ferguson dan jutaan fans Setan Merah, terutama bagi mereka yang beruntung dapat menyaksikan langsung laga final paling bergengsi di Eropa tersebut.

Saya sendiri tidak berkesempatan untuk menyaksikan langsung laga final saat itu, dan mungkin anda pun tidak, tetapi cobalah untuk menonton tayangan ulangnya di dunia maya. Lebih dari 20 tahun berlalu, namun saya yakin euforia sebelas pemain yang memakai seragam berwarna merah bercampur dengan sorak sorai hingga tangis gembira puluhan ribu fans yang menggunakan atribut serba-merah tetap mampu membangkitkan bulu kuduk dan gairah anda, bahkan di tengah-tengah rutinitas anda yang paling membosankan. Magis.

Akan tetapi, sekarang coba anda bayangkan bila momen tersebut tersaji dengan kondisi stadion yang melompong. Bayangkan Solksjaer berlari dengan kedua tangannya mengangkat keatas, merayakan gol di menit paling akhir pertandingan, dan dibalas dengan tatapan dingin bangku-bangku kosong di stadion. Bayangkan Troy Deeney, setelah mencetak gol kemenangan di menit terakhir pertandingan play-off melawan Leicester City pada tahun 2013, mencopot kausnya, lalu melompat serta mendaratkan kakinya ke dalam baris-baris kursi kosong. Bayangkan hembusan angin sunyi yang menyelamati Sergi Roberto setelah mencetak gol penentu bagi Barcelona di babak 16 besar Champions League melawan Paris Saint Germain (PSG) 3 tahun silam. Atau keceriaan semu di stadion dalam merayakan gol penentu Eric Maxim Choupo-Moting yang membawa PSG lolos ke semi final untuk pertama kalinya dalam 25 tahun.

Anti-klimaks.

Harus diakui, supporter merupakan salah satu aspek yang membuat sepakbola menjadi salah satu olahraga yang paling banyak digemari di planet ini, mentasbihkan diri sebagai “agama” bagi para pengikutnya. Seperti yang banyak kita dengar, fans adalah “pemain kedua belas” bagi setiap tim. Fans merupakan bagian dari alasan para pemain terus berlari hingga 90 menit, bahkan di momen ketika otot kaki terasa kram. Seperti ungkapan populer dari Sir Matt Busby: “football without fans is nothing”. Perkawinan antara pertandingan sepakbola dengan barisan kursi kosong di stadion merupakan fenomena yang janggal.

Akan tetapi, mau tidak mau saat ini kita harus membiasakan diri melihat pemandangan tersebut. Pandemi virus COVID-19 yang telah menjangkiti puluhan juta orang di berbagai penjuru dunia telah mengakibatkan banyak aktivitas terhenti, dan menempatkan dunia dalam tombol pause. Manusia dipaksa meninggalkan kodratnya sebagai makhluk sosial, dan dipaksa hidup berjauhan — dalam arti yang sebenarnya. Seluruh tempat berkumpul terpaksa dikosongkan, mulai dari sekolah, rumah ibadah, hingga stadion.

Tak luput, pandemi virus COVID-19 memaksa kompetisi di seluruh dunia dihentikan. Per bulan Maret, kita terpaksa tidak dapat menyaksikan aksi Lionel Messi meliuk-liuk di antara pemain lawan, tendangan roket Cristiano Ronaldo, ataupun aksi “menyelam” Neymar. Seluruh liga di dunia dihentikan tanpa ada jaminan bahwa kompetisi akan dilanjutkan: sebuah bencana bagi klub, pemain, perusahaan broadcasting, hingga penikmat si kulit bundar. Bayangkan betapa jemunya menghabiskan 5 hari dengan bekerja keras dari pagi hingga larut malam, dan menghabiskan akhir minggu dengan duduk di sofa sembari menonton drama pertelevisian nasional bersama ibu mertua anda — pastinya tak terbayangkan.

Secercah harapan muncul di bulan Mei tahun lalu. Dewan pengurus dan klub peserta liga top Eropa mulai menetapkan tanggal kompetisi akan dilanjutkan. Bundesliga menjadi kompetisi papan atas pertama yang dilanjutkan dengan Premier League, La Liga, dan Serie A menyusul di bulan Juni. Kompetisi antar klub Eropa juga diputuskan dilanjutkan pada bulan Agustus.

Keputusan untuk melanjutkan liga diambil setelah melalui berbagai pertimbangan, dengan aspek finansial menjadi pertimbangan utama. Selain itu, tidak adil juga rasanya bila memutuskan juara dan degradasi dari hasil kompetisi yang belum selesai. Meskipun begitu, keputusan ini diambil dengan berbagai konsekuensi, utama nya adalah perhatian khusus terkait aspek kesehatan

Sebuah pertanyaan muncul di dalam benak rasional saya: mengapa terburu-buru?

Liga dilanjutkan dengan prasyarat adanya testing PCR secara berkala yang melibatkan seluruh pemain dan staf klub, protokol isolasi yang lebih ketat, jadwal bertanding yang jauh lebih padat, hingga seluruh laga yang akan digelar tanpa penonton. Kita terpaksa menyaksikan Derby Lembah Ruhr tanpa disertai sorak sorai yang memekakan telinga oleh Yellow Wall atau Anfield tanpa lantunan “You’ll Never Walk Alone”. Sejumlah pundit berpendapat bahwa situasi ini dapat mempengaruhi hasil akhir kompetisi, dan opini tersebut bukan tanpa dasar.

Data dari The Conversation mencatat bahwa “intimidasi” supporter memiliki andil dalam kemenangan sebuah tim. Tim tuan rumah memiliki probabilitas kemenangan hingga 46% ketika pertandingan digelar dengan penonton namun hanya 36% ketika pertandingan digelar tanpa penonton. Berbanding lurus, probabilitas kemenangan tim tamu hanya 26% ketika pertandingan digelar dengan penonton dan meningkat hingga 34% ketika pertandingan digelar tanpa penonton. Selain itu, dalam pertandingan tanpa penonton, tim tuan rumah juga cenderung mencetak lebih sedikit gol, dan tim tamu menerima lebih sedikit kartu kuning.

Setelah pertandingan tanpa supporter mulai menjadi pemandangan yang biasa dalam beberapa bulan terakhir, mulai muncul wacana bahwa stadion akan dibuka kembali dan supporter mulai diperbolehkan untuk kembali ke stadion. Setidaknya wacana ini dilontarkan oleh beberapa negara yang memiliki liga papan atas dunia seperti Inggris, Italia, dan Spanyol. Meskipun dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan, wajar bila kita bertanya: apakah wacana tersebut merupakan wacana yang bijak?

Bila melihat sedikit lebih dalam, supporter punya andil yang lebih riil dibanding “hanya” menentukan kemenangan —sebagai sumber pendapatan klub. Tiket yang dibayar oleh supporter menjadi salah satu sumber pendapatan klub. Fans-fans loyal yang berlangganan season ticket selayaknya pelanggan setia yang terus membeli apa pun yang ditawarkan oleh klub. Namun faktanya, supporter yang datang ke stadion bukan merupakan sumber pendapatan yang signifikan bagi klub. Data yang dilansir oleh UEFA, Deloitte, serta KPMG menunjukkan bahwa pemasukkan dari tiket hanya berkontribusi sekitar 15% dari total pemasukkan klub, masih kalah dibandingkan dengan pemasukkan dari broadcasting dan sponsorship dengan kombinasi keduanya berkontribusi hampir 60% dari total pendapatan klub.

Melihat faktanya, saya cukup sangsi dengan wacana ini. COVID-19 telah merenggut nyawa lebih dari 1 juta orang di seluruh dunia dan menempatkan sistem layanan kesehatan kita di ambang jurang. Vaksinasi massal pun belum dapat tersedia, setidaknya hingga pertengahan tahun ini. Epidemolog dan pakar kesehatan dunia seluruhnya sependapat bahwa kerumunan, kontak jarak dekat, serta ruang yang sempit menjadi aspek utama penularan COVID 19 — hal yang kerap ditemui di dalam stadion. Terlebih, di tengah luasnya ketidaktahuan spesies kita tentang virus ini, frasa “memperhatikan protokol kesehatan” sejujurnya menjadi lelucon yang tidak lucu. Kecuali dengan tes PCR, bagaimana anda dapat memastikan orang yang duduk di sebelah anda bukan merupakan orang tanpa gejala?

Memang betul bahwa supporter ikut menentukan kemenangan klub, dan pertandingan tanpa supporter akan menghilangkan keunggulan tim tuan rumah. Namun melihat dari sudut pandang lain, bukankah situasi ini justru menciptakan pertandingan yang lebih adil? Pemain tim tamu tak perlu takut akan intimidasi supporter tuan rumah yang terkadang berujung rasis maupun brutal, dan fokus mempertontonkan rabona nya yang indah di atas lapangan. Wasit pun tidak perlu takut akan intimidasi supporter dalam mengeluarkan kartu kuning atau memberikan hukuman penalti dan semakin dapat memimpin pertandingan secara adil dan objektif.

Sebagai pengikut agama si kulit bundar, kita pun tetap mampu menyaksikan pertandingan melalui layar kaca. Pendapatan klub pun tidak terganggu karena pendapatan dari broadcasting dan sponsorship tetap mengalir. Pun, klub dapat mengoptimalkan pendapatan dari segi komersial dengan penawaran-penawaran eksklusif dan terpersonalisasi kepada pendukung setia nya seperti merchandise, konten eksklusif, dan sebagainya — sebuah tantangan bagi divisi marketing klub. Dengan segala fakta ini, sebuah pertanyaan muncul di dalam benak rasional saya: mengapa terburu-buru? Mengapa tidak menunggu membuka stadion setelah vaksinasi masif telah dilakukan?

Betul bahwasanya pertandingan tanpa supporter layaknya sayur tanpa garam. Namun bila dibandingkan dengan nyawa manusia yang merupakan ihwal nyata, hal tersebut seharusnya menjadi sesuatu yang semu dan imajiner. Melihat dari sudut pandang lain, bila fans merupakan bagian krusial bagi sebuah klub, bukankah sudah sepatutnya kita melindungi nyawa fans dari risiko berdesakan di dalam stadion? Tentunya perdebatan ini masih merupakan kontroversi, namun saya yakin bila seorang Bambang Pamungkas diberi keleluasaan memilih, beliau pasti akan konsisten dengan kalimatnya:

“Tidak ada satupun kemenangan yang sebanding dengan nyawa”

--

--