China: Entering Orwellian?

Irfan Adhityo
5 min readFeb 8, 2020

--

Who controls the past controls the future. Who controls the present controls the past.”

George Orwell, “1984”

Pernahkah anda mendengar kata “orwellian”? Dalam Cambridge English Dictionary, kata “orwellian” merupakan sebuah kata yang digunakan untuk mendesripsikan sebuah sistem politik pemerintah yang mengontrol seluruh jengkal dari kehidupan rakyatnya. Secara praktek, orwellian dideskripsikan dengan pemerintah yang menganut sistem totalitarian.

Kata orwellian lahir dari novel yang berjudul “1984” yang ditulis oleh George Orwell pada tahun 1949. Novel ini menceritakan tentang kehidupan seorang tokoh bernama Winston Smith yang tinggal di kota bernama London. Kota London merupakan bagian dari pemerintahan Oceania, salah satu dari tiga pemerintah besar yang ada di dalam buku. Oceania dikendalikan oleh seorang elit kuat dan misterius yang mengendalikan satu-satunya partai di wilayah Ocecania. Pemerintah, yang disebut sebagai “Big Brother,” menggunakan kamera dan perangkat mendengarkan untuk terus mengamati semua warganya se detil mungkin hingga dapat merekam raut muka setiap warganya.

Kemudian, di dalam Oceania terdapat pasukan polisi rahasia yang ditugaskan untuk melaporkan pikiran memberontak maupun perilaku menyimpang kepada pihak berwenang. Lebih dari itu, Pemerintah menggunakan propaganda yang masif dan terstruktur yang bahkan dapat mengubah sejarah dan menghapus kosa kata sesuai keinginan pemerintah. Puncaknya, propaganda yang dihembuskan adalah bahwa setiap orang yang melaporkan pemberontak merupakan pahlawan. Maka dari itu, sangat mungkin apabila seorang penghuni sebuah apartemen melaporkan tetangganya sendiri dengan tuduhan pikiran memberontak, hanya karena tidak antusias saat menyanyikan lagu kebangsaan.

Ketika pertama kali rilis, novel ini terus mendapatkan respon positif dari pembaca maupun kritikus bahkan hingga saat ini. Setelah membaca novel ini, anda mungkin bertanya-tanya, mungkinkah hal seperti ini terjadi di dunia nyata? Nyatanya, tipe pemerintahan seperti ini sedang terjadi di Korea Utara, dan bisa jadi sedang akan terjadi di Tiongkok.

Sejak 2013, Partai Komunis Tiongkok atau yang biasa disebut Chinese Communist Party (CCP) mulai menerapkan sistem registrasi nama untuk pengguna telepon seluler pada September 2013. Selain itu, CCP juga mengembangkan “mobile electronice fences system”, yang memungkinkan untuk memantau aktivitas abnormal individu dan kelompok yang ditargetkan. Kemudian, CCP mulai mewajibkan semua warga untuk menggunakan kartu ID “generasi kedua”. Kartu ID generasi kedua ini mengadopsi teknologi Radio Frequency Identification (RFID). Dalam sistem ini, terdapat microchip yang menyimpan informasi pribadi tersembunyi di dalam kartu seluler. Menggunakan peralatan inspeksi, informasi dapat diekstraksi dan dibaca dalam jarak 1 meter atau lebih. Lebih parahnya, informasi tersebut juga dapat ditukar, diperbarui, dan diunduh melalui basis data jauh. Bayangkan saja anda tiba-tiba memiliki atau kehilangan kontak yang ada di gadget anda secara tiba-tiba, dan anda tak tahu siapa yang berbuat, serta harus berbuat apa.

Seakan hal tersebut tidak cukup, CCP juga mulai mengumpulkan sampel DNA dari seluruh penduduk dengan rencana mendirikan database DNA terbesar di dunia. Hal ini merupakan hal yang sangat mengejutkan. Sebagai perbandingan, di sebagian besar negara bagian di Amerika Serikat, petugas penegak hukum hanya diperbolehkan mengumpulkan sampel DNA dari orang-orang yang sudah ditangkap karena melakukan kejahatan. Namun, di Tiongkok yang berada di bawah kekuasaan CCP, dari pejabat dan ulama hingga pelajar dan warga sipil, data DNA semua orang dapat dikumpulkan secara paksa tanpa pemberitahuan sebelumnya. Di beberapa bagian Tiongkok, lembaga penegak hukum bahkan telah mengarsipkan informasi DNA individu bersama dengan informasi biometrik lainnya, termasuk sidik jari, potret, dan cetakan suara.

Baru-baru ini, Tiongkok kini sedang gencar menerapkan hyper-surveillance system. Sistem ini menitikberatkan pada pengawasan ketat kepada setiap wilayah Tiongkok dengan menggunakan perangkat-perangkat seperti kamera CCTV beresolusi tinggi yang dilengkapi dengan artificial intelligence. Fitur ini memungkinkan kamera-kamera ini dapat mengidentifikasi wajah seseorang, bahkan diklaim kamera ini dapat mengidentifikasi raut muka serta ekspresi seseorang, yang selanjutnya digunakan untuk memprediksi perilaku dari seseorang.

Keseluruhan kamera ini dioperasikan oleh kepolisian setempat melalui control room berteknologi tinggi. Adanya perilaku dan ekspresi yang dianggap abnormal dapat didetesi oleh kamera tersebut yang kemudian diteruskan kepada control room dari kepolisian. Sepanjang wilayah Tiongkok, kini terpasang 170 juta CCTV yang sudah beroperasi dan diperkirakan jumlah ini akan bertambah hingga mencapai 400 juta dalam jangka waktu 3 tahun kedepan.[1]

Hari ini, teknologi tersebut sudah dioperasikan di berbagai kota di sekitar Tiongkok. Di kota Zhengzhou, seorang petugas polisi yang mengenakan kacamata yang memiliki fitur facial recognition berhasil menangkap seorang penyelundup narkoba di stasiun kereta. Di berbagai persimpangan, sebuah layar besar menampilkan gambar live para pejalan kaki beserta nomor ID mereka, disertai dengan wajah-wajah para pelanggar rambu lalu lintas lengkap dengan nomor ID nya.

Keseluruhan teknologi ini terbukti efektif dalam menurunkan angka pelanggaran hukum. Di sebuah persimpangan di kota Xiangyang, angka pelanggaran rambu lalu lintas menurun, juga dengan angka pencurian. Bahkan di Zhengzhou, polisi berhasil menangkap seorang penyelundup narkoba tanpa interogasi. Ia menyerahkan dirinya sendiri karena ia merasa dirinya ketahuan oleh teknologi surveillance yang terpasang.[2]

Hal yang menarik adalah padahal, teknologi surveillance tersebut diakui memiliki beberapa keterbatasan. Namun, adanya teknologi surveillance memberikan pesan kepada setiap warga negara bahwa “anda sedang diawasi”, sehingga mereka takut untuk melakukan tindakan melanggar hukum.

Jika anda merasa teknologi surveillance di atas merupakan mimpi buruk yang tidak dapat menjadi lebih buruk, maka anda salah besar. Pemerintah Tiongkok terbukti tidak main-main dengan usahanya untuk “menciptakan stabilitas”. Selain menggunakan teknologi pengawasan, Pemerintah Tiongkok juga akan menerapkan kontrol sosial menggunakan teknologi.

Salah satunya, pemerintah Tiongkok merencanakan bahwa pada 2021, pemerintah akan menerapkan sistem social credit bagi warga negara di kawasan Beijing. Apabila anda pernah menonton serial “Black Mirrorepisode Nosedive”, maka anda akan tahu persis apa yang sedang saya bicarakan. Dalam sebuah roadmap yang diluncurkan pada 2014, pemerintah Tiongkok berencana membuat sistem social credit untuk memberikan reward dan/atau punishment kepada individu atau korporasi untuk merekam beragam informasi mengenai kemampuan finansial, tingkah laku personal, hingga kelalaian korporasi.

Hingga saat ini, aplikasi dari sistem ini belum dijelaskan secara detil. Namun segala informasi yang didapat dari sistem tersebut dapat berimbas dalam akses ke perekonomian, segala infrastruktur dan layanan publik seperti transportasi, pekerjaan, hingga izin untuk mendirikan usaha. Individu yang berperilaku baik akan mendapatkan kemudahan dan sebaliknya, individu yang memiliki rekam jejak buruk akan cenderung dihambat untuk mendapatkan akses ke hal-hal tersebut.

Segala usaha yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok pada dasarnya berangkat dari ide bahwa perlunya keamanan dan stabilitas dalam kehidupan bernegara. Stabilitas akan membawa Tiongkok ke arah yang lebih baik dari segi ekonomi, sosial, dan juga politik.

Di sisi lain, penggunaan teknologi-teknologi semacam ini mulai mencerminkan bahwa pemerintah Tiongkok mulai bergerak ke arah pemerintah totaliter. Pemerintah mulai dapat menginvasi ruang-ruang pribadi warganya, yang dapat diklasifikasikan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Penyimpangan dari norma atau “yang seharusnya terjadi” dapat ditindak oleh pemerintah, dan dalam hal ini pemerintah berlaku sebagai institusi tunggal yang dapat menyatakan mana yang benar dan mana yang salah. Pemerintah adalah kebenaran itu sendiri. Kebenaran yang dimiliki pemerintah juga tidak terbatas, bahkan dapat memasuki ruang-ruang subjektivitas.

Bayangkan saja, suatu hari anda bangun dalam keadaan sakit. Kemudian karena anda sakit, anda diberikan sanksi karena terlihat tidak bersemangat dalam bekerja dan dianggap tidak antusias dalam menyanyikan lagu kebangsaan. Lalu, di sore hari anda diberikan penilaian negatif oleh seorang penumpang di kereta commuter hanya karena anda tidak tersenyum. Di akhir bulan, penilaian negatif ini membuat anda tidak dapat membeli rumah mewah karena anda tidak mendapatkan cukup credit, atau “tidak menjadi cukup baik” untuk membeli rumah tersebut.

Ekstrimnya, bagaimana anda bisa berpikir bahwa satu tambah satu sama dengan dua, apabila pemerintah membuat anda berpikir bahwa satu tambah satu sama dengan tiga, dan semua orang yang berpikir lain akan dihukum? Semua orang yang anda kenal pun berpikir bahwa satu tambah satu sama dengan tiga. Ditambah, dalam sejarahnya semua buku yang mungkin anda baca menjelaskan bahwa satu tambah satu sama dengan tiga. Pada akhirnya, bagaimana mungkin anda berpikir lain?

Apakah sistem ini merupakan sesuatu yang baik? Entahlah. Satu hal yang pasti, saya harus memberikan pujian kepada George Orwell dan scriptwriter serial “Black Mirror karena sudah menjadi “peramal” yang handal.

--

--

No responses yet