Anak Tiri Bernama DPD
Jika anda mendengar singkatan DPD, mungkin anda akan langsung terpikir tentang suatu lembaga legislatif bernama Dewan Perwakilan Daerah. Akan tetapi, pahamkah anda tentang apa fungsi DPD, wewenang, serta tugas-tugasnya, bahkan tahukah anda siapa itu anggota DPD RI dan bagaimana cara memilihnya? Penulis memperkirakan bahwa setidaknya 4 dari 5 orang yang membaca tulisan ini tidak dapat menjawab pertanyaan diatas secara lengkap tanpa mencari di Google. Inilah mirisnya realita yang terjadi dalam masyarakat dewasa ini terkait dengan kekuasaan legislatif. Dimana rata-rata masyarakat hanya mengetahui 2 lembaga bernama DPR dan MPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif, namun tidak mengetahui keberadaan lembaga bernama DPD yang turut melengkapi kekuasaan legislatif dalam NKRI.
Terlepas dari kisruh dan kontroversi yang didalangi oleh DPD serta MA belakangan ini, pro-kontra tentang keberadaan DPD didalam kekuasaan legislatif Indonesia pun sudah sering terdengar dari para pemerhati hukum tata negara. Margarito Kamis contohnya. Dalam sebuah wawancara yang diadakan oleh salah satu kantor berita nasional, pakar hukum tata negara ini menekankan bahwa keberadaan DPD di dalam kekuasaan legislatif NKRI sudah tidak efektif dan hanya memboroskan anggaran. Karena itu, ia menyerukan agar pemerintah memperkuat kewenangan DPD jika pemerintah menolak untuk mengambil langkah yang terbilang ekstrim, yaitu: membubarkan DPD. Jika begitu, apakah keberadaan DPD merupakan sesuatu yang diperlukan didalam kekuasaan legislatif? Lalu, tepatkah langkah pemerintah jika pemerintah benar-benar akan membubarkan DPD? Atau adakah cara-cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah agar DPD tidak lagi menjadi sebuah lembaga yang inefektif dalam peta kekuasaan legislatif NKRI?
Latar Belakang Dibentuknya DPD
Indonesia menganut prinsip trias politica dalam sistem pembagian kekuasaannya. Trias politica adalah sebuah prinsip dimana kekuasaan dipisah menjadi 3 jenis kekuasaan kuat yang bebas. Lalu, 3 jenis kekuasaan tersebut adalah: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Legislatif merupakan jenis kekuasaan yang memiliki tugas membuat dan merumuskan undang-undang yang dibutuhkan di dalam sebuah negara, hal ini dapat juga disebut sebagai fungsi legislasi. Di Indonesia kekuasaan legislatif terbagi menjadi 3 lembaga, yaitu: DPR, MPR, dan DPD. Lalu, fungsi dari lembaga legislatif terbagi menjadi 3 fungsi, yaitu: legislasi, pengawasan, serta representatif.
Secara umum, terdapat dua macam sistem dalam penyelenggaraan kekuasaan legislatif, yaitu sistem satu kamar (unicameral system) dan sistem dua kamar (bicameral system). Tetapi tidak menutup kemungkinan sistem perwakilan diselenggarakan melalui lebih dari dua kamar (multycameral system). Sistem satu kamar yang dimaksud adalah fungsi legislasi terpusat pada satu badan legislatif tertinggi dalam suatu negara, sehingga perumusan undang-undang hanya bersumber dari satu lembaga saja. Sementara, sistem dua kamar dan lebih dari dua kamar artinya adalah fungsi legislasi terbagi menjadi 2 atau lebih badan legislatif dalam suatu negara.
Sebelum lahirnya DPD, sistem legislatif Indonesia lebih menggunakan sistem unikameral. Dimana hanya ada DPR sebagai lembaga yang berhak untuk merumuskan dan mengesahkan UU. Akan tetapi, pendapat bahwa diperlukannya peningkatan keikutsertaan daerah terhadap jalannya politik serta penyelenggaraan negara mendorong MPR melakukan Amandemen Ketiga terhadap UUD 1945 pada November 2001 yang menghasilkan lembaga baru yang bernama DPD. Alasan lain diperlukannya DPD adalah karena sedang digalakkannya asas otonomi daerah di seluruh daerah di Indonesia. Maka dari itu parlemen pada waktu itu berpendapat bahwa diperlukannya sebuah lembaga yang dapat benar-benar memperjuangkan kepentingan daerah representasi nya masing-masing di dalam parlemen, sehingga asas otonomi daerah dapat berfungsi secara optimal. Atas 2 alasan tersebut, maka MPR merasa perlu untuk membentuk lembaga baru bernama DPD. Selain itu, dibuat pula peraturan pendukung bahwa anggota DPD tidak boleh berasal dari partai politik tertentu dengan harapan anggota DPD murni memperjuangkan kepentingan daerahnya dan tidak terganggu dengan kepentingan partai politik.
Sebelum bernama DPD, sebenarnya sudah terdapat unsur perwakilan yang berfungsi hampir sama dengan DPD di dalam parlemen, yang disebut Utusan Daerah maupun Utusan Golongan seperti Fraksi TNI dan semacamnya. Akan tetapi, dikarenakan hasil pemikiran fraksi-fraksi di MPR bahwa unsur perwakilan di lembaga perwakilan harus dipilih melalui pemilu, membuat utusan-utusan tersebut dihapus dan diganti dengan DPD. Pada awalnya, terdapat usulan bahwa DPD dibentuk untuk mengubah sistem legislasi Indonesia menjadi sistem bikameral, seperti adanya Senat sebagai perwakilan negara bagian di Amerika Serikat dan House of Representatives sebagai perwakilan seluruh rakyat. Akan tetapi, beberapa fraksi yang terlibat dalam Amandemen UUD ternyata tidak setuju akan hal tersebut dan menolak pemberian status lembaga legislatif kepada DPD. Perbedaan pendapat tersebut pada akhirnya membuat MPR setuju untuk menggunakan usulan Fraksi PPP yang mengusulkan sistem kuasi bikameral sebagai jalan tengah. Yang artinya DPD diakui bukan sebagai badan legislasi, namun diberi kewenangan terbatas dalam proses penyusunan UU, dimana aturan ini akhirnya tertuang dalam Pasal 22C dan 22D UUD 1945.
Terdapat didalam Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan lain seperti UU No 27 tahun 2009 bahwa DPD memiliki fungsi legislasi, pertimbangan, dan pengawasan. Dapat dilihat bahwa fungsi legislasi DPD berfungsi untuk mengajukan rancangan undang-undang (RUU) kepada DPR dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Kemudian DPD memiliki fungsi pertimbangan dengan memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Selain itu DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Selain itu terkait dengan keanggotaan anggota DPD, DPD memiliki beberapa orang sebagai perwakilan dari daerahnya, dimana pada masa jabatan kali ini (2014–2019), anggota DPD berjumlah 132 orang. Hal ini dapat diartikan bahwa terkait dengan keanggotaan MPR, DPD berhak atas 132 kursi dari total 692 anggota MPR. Anggota DPD juga bisa dibilang independen, dimana tidak ada lembaga yang berhak mengawasi kinerja mereka. Berbeda dengan anggota DPR dimana anggota DPR memiliki mekanisme kontrol yang tersistem dengan baik.
Dari fungsi dan wewenang di atas dapat dikatakan bahwa kewenangan DPD bersifat terbatas, yaitu seperti fungsi legislatif yang dimiliki hanya memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan legislatif yang sesungguhnya. Dimana DPD hanya berwenang untuk mengusulkan RUU dan ikut terlibat dalam penyusunan RUU bersama DPR serta memberikan pertimbangan kepada DPR. Hal ini dapat diartikan bahwa DPD tidak memiliki wewenang untuk merumuskan dan mengesahkan UU selayaknya lembaga legislatif murni.
Dari analisa di atas dapat diartikan bahwa dengan kata lain sesungguhnya DPD tidak atau belum dapat dikategorikan sebagai badan legislatif karena tidak mempunyai kewenangan menentukan satu pun peraturan perundang-undangan sebagai ciri utama badan legislatif. DPD masih terkesan sebagai “anak tiri” dalam kekuasaan legislatif jika dibandingkan dengan 2 lembaga lainnya seperti MPR maupun DPR yang memiliki kewenangan lebih besar, atau bahkan dapat dikatakan jauh lebih superior dibandingkan dengan DPD.
Hal inilah yang membuat peran DPD tidak efektif apalagi jika kita melihat fakta dimana prosedur Amandemen UUD hanya dapat dilangsungkan bila mendapat dukungan dari minimal sepertiga dari anggota MPR, atau 231 orang dari 692 anggota MPR. Artinya, anggota DPD harus mendapatkan dukungan dari anggota DPR apabila DPD ingin memperkuat kewenangannya melalui Amandemen UUD. Hal tersebut menggambarkan bahwa DPD bahkan tidak memiliki independensi untuk menentukan nasibnya sendiri.
Kondisi yang ada bahkan diperparah dengan keputusan MK pada tahun 2008 yang menyebutkan bahwa anggota DPD boleh berasal dari partai politik, yang menyebabkan anggota DPD pada hari ini banyak sekali yang berasal dari partai politik. Hal inilah yang membuat DPD yang ada sekarang hampir terkesan sama saja dengan DPR dan tidak memperhatikan substansi terkait tujuan awal dibedakannya DPR dengan DPD.
Dengan fakta-fakta yang ada pada hari ini, dapat dikatakan bahwa keberadaan DPD sebagai wakil daerah di parlemen tidak lagi relevan dengan tujuan awal dibentuknya. Kewenangan yang sangat terbatas, diperparah dengan dibolehkannya unsur politik untuk merasuki DPD membuat lembaga ini terkesan sebagai lembaga tandingan DPR, hanya saja kekuatannya lebih lemah. Fungsi yang jauh dari kata efektif inilah yang membuat citra DPD pada hari ini terkesan hanya sebagai pemborosan anggaran. Hal tersebutlah yang mendorong beberapa pakar hukum tata negara untuk menyarankan agar pemerintah membubarkan DPD.
Akan tetapi, di sisi lain kehadiran DPD sebagai lembaga negara yang juga mempunyai fungsi legislasi disamping DPR diharapkan mampu melakukan fungsi check and balances dengan anggota DPR dan pemerintah dalam membuat sebuah kebijakan nasional. Kemudian dengan adanya DPD RI, kebijakan-kebijakan nasional tersebut dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan daerah, sehingga dalam implementasinya tidak ada pertentangan di daerah.
Maka dari itu, solusi terbaik yang dapat dimunculkan adalah kewenangan DPD diperkuat serta dibersihkan dari pengaruh politik, sehingga DPD tidak lagi menjadi “anak tiri” dalam kekuasaan legislatif serta dapat memenuhi tujuan asli dibentuknya DPD. Penguatan kewenangan juga harus didukung dengan mekanisme kontrol yang jelas dan efektif sehingga tidak terjadi penyalahgunaan wewenang yang dapat terjadi di masa mendatang.
Pada awalnya, keberadaan DPD sebenarnya berawal dari tujuan yang baik. Akan tetapi, kecacatan hukum yang ada untuk mendukung kinerja DPD membuat kinerjanya selama ini bahkan bisa dibilang tidak terlihat. Penguatan wewenang DPD yang disertai dengan mekanisme kontrol yang efektif merupakan alternatif terbaik yang dapat dilakukan oleh pemerintah agar DPD tidak menjadi “anak tiri” dalam kekuasaan legislasi NKRI.
Kini semua bergantung kepada kebijakan pemerintah. Mampukah dan beranikah Pemerintah Indonesia untuk memberikan kedudukan yang sejajar kepada “anak tiri” tersebut agar dapat berfungsi seperti seharusnya?